Membangkitkan Tionghoa Indonesia (2)

Oleh Viona Wijaya / @vionawijaya

(Baca dari Bagian 1)


Teman-teman Tionghoa-Indonesia di Perayaan Peh Cun 2013, di Lembang, Bandung

Tak usah repot bertanya apa semua itu membuat kami menjadi Indonesia atau tidak (karena jawabannya sudah jelas tidak). Maka yang ada di hadapan kita saat ini adalah sekelompok anak muda Tionghoa Indonesia yang acuh terhadap bangsanya – Indonesia. Kemudian ada juga anak muda yang mewarisi sakit hati generasi sebelumnya – jumlah mereka tak terlalu besar dibanding yang acuh. Tapi dibanding kedua kelompok tersebut, jauh lebih kecil lagi jumlah mereka yang bisa dengan mantap mengatakan, “Kami mengasihi bangsa ini!”, yang mau berkata bangga, “Kami Tionghoa Indonesia!”

Alhasil Ibu pertiwi kehilangan potensi besar yang dimiliki kaum Tionghoa, khususnya anak-anak muda Tionghoa. Zaman telah berubah, era reformasi membuka peluang besar bagi orang-orang Tionghoa untuk terlibat aktif membangun bangsa, namun kaum Tionghoa tampak masih mengungkung diri di masa lalu – merasa tak diterima di negeri ini. Geliat kebangkitan beberapa kelompok Tionghoa Indonesia ada, tetapi lebih banyak yang memilih tetap ‘mati’.

Padahal jika kita menelusuri sejarah bangsa ini, jejak-jejak keringat, usaha dan pemikiran orang Tionghoa bagi kemajuan negeri tidak sulit kita temukan. Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), misalnya, dari 60 anggota, terdapat ada empat orang etnis Tionghoa yang terlibat. Dalam Konstituante (badan khusus yang bertugas menyiapkan rancangan undang-undang dasar baru) setidaknya tercatat wakil-wakil dari Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) sejumlah enam orang. Di era reformasi, kaum Tionghoa pun turut ambil bagian: sebagai kepala daerah, sebagai anggota dewan, sebagai menteri, dsb.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, kembali kita temukan jejak kaum Tionghoa. John Lie, seorang laksamana yang tak segan mempertaruhkan nyawanya demi Indonesia, menjadi legenda. Di usia 39 tahun, Ia berusaha menembus blokade Belanda demi menukar hasil bumi dengan senjata untuk republik Indonesia yang masih seumur jagung. Dikejar kapal Belanda, diberondong peluru, dibombardir bom, John Lie tak gentar. Mengepalai belasan kru yang masih belia (rata-rata berumur 21 tahun), Ia berjuang dengan apa yang Ia miliki demi bangsa Indonesia.

Dalam dunia hukum dan perjuangan penegakkan HAM di Indonesia,Yap Thiam Hien meninggalkan jejaknya yang tak akan lekang oleh waktu. Didorong oleh kepeduliannya terhadap kebutuhan masyarakat miskin akan keadilan, Ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum. Jasanya yang besar bagi republik ini membuat namanya dijadikan penghargaan bagi para pejuang hak asasi manusia.

Aktivis mana tak kenal nama Soe Hok Gie? Catatan hariannya yang kemudian dibukukan boleh dikatakan sebagai buku wajib bagi para aktivis. Tak dibatasi oleh fakta bahwa dia keturunan Tionghoa, Hok Gie bersama kawan-kawannya menggulingkan rezim Orde Lama yang tak kunjung membawa kebaikan bagi rakyat. Digertak, dia tetap maju. Suatu hari Ia diserempet mobil sambil dilempari kertas bertuliskan, “Cina = PKI, pulang ke negerimu!”, Hok Gie tetap maju terus.

Siapa lagi? Berikan saya sebuah kertas kosong dan saya bisa tuliskan nama demi nama, baik mereka yang dikenang seantero negeri maupun sosok-sosok sederhana yang membekas di hati masyarakat sekitarnya. Mereka sipit, kulit mereka kuning, mereka Tionghoa, Tionghoa Indonesia! Alih-allih melanggengkan perasaan ‘kami-tidak-diterima-di-negeri-ini’, mereka memilih untuk bertindak nyata, menggoreskan kisah hidup mereka dalam sejarah bangsa. Melalui jasa-jasanya, pesan mereka bergema, “Kami juga bagian dari bangsa ini!”

(Bersambung ke Bagian 3 dan Bagian 4)

Silakan kunjungi juga blog Viona Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com